Pada abad ke 16, Aceh menjalin hubungan langsung dengan kekhalifahan Ustmaniyah. Dalam serangkaian keputusan Sultan Salim II pada tahun 1567 ia memerintahkan 15 armada kapal dan 2 barques untuk dikirim membantu Aceh.
Sultan juga menginstruksikan gubernur Mesir untuk membangun sebuah kanal di suez, sehingga kapal perang dapat bolak-balik ke samudera Hindia.
Sultan Salim II juga menginstruksikan sebuah angkatan laut dibawah komando laksamana Kourdoglu Hizir Reis dari armada Utsmaniyah di kawasan laut merah untuk berlayar menuju sumatera (Aceh) pada tanggal 20 september 1567.
Pada waktu itu Turki Ustmani memiliki empat kekuatan angkatan laut yang terpencar. Terdiri dari kekuatan armada angkatan laut di Mediterania, Laut Hitam, Laut Merah dan Stream Flest di Danube. Selain itu ada juga beberapa angkatan laut di teluk Basra, tetapi mereka tidak termasuk dalam satu organisasi AL.
Sultan Salim II juga memerintahkan secara tertulis kepada beberapa ulama serta para ahli teknik untuk ikut serta berlayar dan tinggal di Sumatera sejauh Sultan Aceh masih memerlukan mereka. Diantara sumbangan monumental yang diberikan kekhalifahan Turki Utsmani adalah dibangunnya sekolah Akademi Militer.
Salah satu alumni yang sangat tersohor adalah laksamana Malahayati, seorang laksamana perang perempuan yang memimpin kurang lebih 1000 orang pasukan, laksamana perempuan pertama di dunia yang disegani.
Dalam sejarah pengabdiannya kepada kesultanan Aceh Darussalam, ia telah membuktikan keberaniannya membunuh Cornelis De Houtman, seorang pemimpin belanda pertama yang menginjakkan kakinya di Asia Tenggara.
Ketika belanda mulai secara agresif memperluas kekuatannya di sumatera, Aceh sekali lagi meminta bantuan kepada kekhalifahan Turki Utsmani. Pada tahun 1849 Sultan Mansyur Syah dari Aceh (1838-1870) mengirimkan utusan ke Sultan Abdul Majid dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh sebagai Negeri dibawah kedaulatan Utsmani.
Turki pada saat itu berada dalam era Utsmaniyah, kesultanan Islam terbesar yang muncul pasca kejatuhan Baghdad tahun 1258 M. Sehingga kesultanan Turki Utsmani dipandang oleh dunia Islam sebagai pelindung dan pengayom bagi negeri-negeri muslim di seluruh dunia. Wilayah kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmani saat itu meliputi 10 juta km2, dari Maghrib sampai Kaukasus dari gerbang Wina di Eropa.
Dewasa ini, temuan baru dari arsip di Istanbul bahwa sejak awal abad ke 19 permintaan perlindungan dari para raja melayu kepada kekhalifahan Utsmani menggunakan semua unsur retorika
Sultan juga menginstruksikan gubernur Mesir untuk membangun sebuah kanal di suez, sehingga kapal perang dapat bolak-balik ke samudera Hindia.
Sultan Salim II juga menginstruksikan sebuah angkatan laut dibawah komando laksamana Kourdoglu Hizir Reis dari armada Utsmaniyah di kawasan laut merah untuk berlayar menuju sumatera (Aceh) pada tanggal 20 september 1567.
Pada waktu itu Turki Ustmani memiliki empat kekuatan angkatan laut yang terpencar. Terdiri dari kekuatan armada angkatan laut di Mediterania, Laut Hitam, Laut Merah dan Stream Flest di Danube. Selain itu ada juga beberapa angkatan laut di teluk Basra, tetapi mereka tidak termasuk dalam satu organisasi AL.
Sultan Salim II juga memerintahkan secara tertulis kepada beberapa ulama serta para ahli teknik untuk ikut serta berlayar dan tinggal di Sumatera sejauh Sultan Aceh masih memerlukan mereka. Diantara sumbangan monumental yang diberikan kekhalifahan Turki Utsmani adalah dibangunnya sekolah Akademi Militer.
Salah satu alumni yang sangat tersohor adalah laksamana Malahayati, seorang laksamana perang perempuan yang memimpin kurang lebih 1000 orang pasukan, laksamana perempuan pertama di dunia yang disegani.
Dalam sejarah pengabdiannya kepada kesultanan Aceh Darussalam, ia telah membuktikan keberaniannya membunuh Cornelis De Houtman, seorang pemimpin belanda pertama yang menginjakkan kakinya di Asia Tenggara.
Ketika belanda mulai secara agresif memperluas kekuatannya di sumatera, Aceh sekali lagi meminta bantuan kepada kekhalifahan Turki Utsmani. Pada tahun 1849 Sultan Mansyur Syah dari Aceh (1838-1870) mengirimkan utusan ke Sultan Abdul Majid dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh sebagai Negeri dibawah kedaulatan Utsmani.
Turki pada saat itu berada dalam era Utsmaniyah, kesultanan Islam terbesar yang muncul pasca kejatuhan Baghdad tahun 1258 M. Sehingga kesultanan Turki Utsmani dipandang oleh dunia Islam sebagai pelindung dan pengayom bagi negeri-negeri muslim di seluruh dunia. Wilayah kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmani saat itu meliputi 10 juta km2, dari Maghrib sampai Kaukasus dari gerbang Wina di Eropa.
Dewasa ini, temuan baru dari arsip di Istanbul bahwa sejak awal abad ke 19 permintaan perlindungan dari para raja melayu kepada kekhalifahan Utsmani menggunakan semua unsur retorika
Dalam surat-surat dari Kedah (1824), Aceh (1849, 1850), Riau (1857), dan Jambi (1858), Sultan Utsmani disebut sebagai Sultan Islam dan kaum Muslimin, penjunjung syari'ah dan pengabdi dua tempat suci.
Bukti nyata pengaruh kekhalifahan Turku Utsmani di Asia Tenggara adalah ketika perang dunia I dengan adanya proklamasi jihad dari Khalifah Muhammad Rasyid pada tahun 1914. Dalam sebuah pamflet berbahasa Arab yang ditujukan kepada semua bangsa yang terjajah, termasuk kepulauan Hindia untuk bangkit melawan penjajah.
Bukti nyata pengaruh kekhalifahan Turku Utsmani di Asia Tenggara adalah ketika perang dunia I dengan adanya proklamasi jihad dari Khalifah Muhammad Rasyid pada tahun 1914. Dalam sebuah pamflet berbahasa Arab yang ditujukan kepada semua bangsa yang terjajah, termasuk kepulauan Hindia untuk bangkit melawan penjajah.