--> Skip to main content
Karya Tulis

follow us

I’m With You

I’m With You

Mungkin, hanya aku yang merasa sendiri. Sampai suatu hari kamu datang dengan sebuah cahaya yang membuat aku berarti.

I’m With You

Aku termenung menatap seorang gadis –yang menurutku– manis sedang bermain tenis. Dia sangat manis, apalagi dengan lesung di pipinya. Tak heran banyak laki-laki jatuh hati kepadanya. Termasuk ‘dia’. Aku sering berangan-angan menjadi sosok gadis seperti dia. Sosok gadis dambaan hati. Gadis yang baik nan lembut.

Iri sering menghampiriku ketika melihatnya dengan laki-laki yang aku suka. Gadis itu bernama Marsya. Dia adalah sahabat terbaikku yang hampir setiap hari membuatku iri.

“Sya, ini kupinjami handukku”. Aku memberikan handuk yang selalu kupakai untuk olahraga kepada Marsya. Dia tersenyum kemudian meraih dan memakai handukku,

“Kamu tau saja kalau aku nggak bawa handuk”. Aku tersenyum simpul kepadanya. “kan handukmu ketinggalan di rumahku”. “Oh, iya. Hehe, aku lupa. Nanti siang ku ambil. Aku mau main lagi. Dah!”.

Marsya pun pergi meninggalkan aku setelah meneguk air mineral yang dia bawa.

Dengan senyuman yang tak pernah pergi jauh darinya, dia melanjutkan permainannya yang selalu mendapat pujian bersama Nathan, lelaki pujaanku sejak SMP.

Jujur, aku iri lahir batin dengan Marsya.

Aku melihat Nathan sedang kebingungan. Aku pun berinisiatif untuk mendekatinya. Aku mendekati Nathan yang – sepertinya –terlihat sedang susah payah mencari sebuah buku di rak bahasa.

“Lagi nyari apa, Than?”

Nathan menoleh ke arahku. Tiba-tiba kulihat seutas senyuman manis yang selama ini kulihat dari jauh. Aku pun tersenyum juga, dan aku yakin wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus.

“Aku lagi nyari buku belajar bahasa jepang. Kamu liat nggak?”

“Maksudmu, buku ini?” aku memperlihatkan sebuah buku pedoman bahasa jepang yang sedari tadi kubawa. “Nah, ini dia. Masih kamu pakai?”
“Ngh, enggak. Aku baru aja mau balikin. Mau kamu pinjem?” Nathan pun mengangguk. Aku memberikan buku tersebut kepada Nathan. Kulihat raut bahagia menyertainya. Sebegitukah orang yang mau belajar bahasa jepang?

“Thank’s Tika! Aku pergi dulu!” Nathan pergi meninggalkanku. Aku pun hanya menatap punggung Nathan yang perlahan menjauh. Dan jujur, di dalam hati kecil ini aku tersenyum bahagia.

‘…, watashi wa anata o aishite! Tika.’

Aku terkejut membaca sebuah pesan yang kutemukan di lokerku. Siapa yang mengirimnya? Seingatku, tak ada yang bisa berbahasa jepang di kelas ini selain aku dan Nathan. Bahkan Nathan pun baru belajar.

“Ada apa, Tik?” Tanya Marsya yang tiba-tiba menghampiriku. Aku pun hanya tersenyum kepadanya.

“Watashi wa anata o aishite, Tika. Artinya apa?”

“Artinya, Aku auka padamu Tika”

“Ciye… Tika ditembak seseorang. Siapa yang ngirim? Selamat ya!”

“Hehe, makasih. Um, entahlah. Sepertinya dia secret admirer deh”

Aku masih tersnyum sekaligus bingung. Apa yang mengirimiku ini benar dia? Apakah benar dia Nathan?

Sudah hampir 2 minggu aku mendapat kiriman. Entah itu bunga, coklat dan sebagainya. Dan semua itu disertai surat yang berisi kalimat ‘Watashi wa anata o aishite, Tika’. Aku benar-benar penasaran dengan pengirimnya. Semakin hari, aku semakin yakin kalau pengirim gelap itu adalah Nathan.

“Watashi wa anata o aishite! Watashi wa anata o aishite!”

Aku dan teman-temanku menengok keluar jendela. Melihat seseorang yang sedang menyatakan perasaannya dengan berteriak. Aku terkejut saat mendapati bahwa pria itu adalah Nathan. “Watashi wa anata o aishite!” begitulah teriak Nathan yang melihat ke arah jendela kelasku di lantai dua.

Jadi, semua ini benar? Jadi pengirim gelap itu benar-benar Nathan? Hatiku berbinar-binar sekali.

“Tika, pengirim itu adalah Nathan” ucap Marsya. Aku pun tersenyum kepadanya.

“Watashi wa anata o aishite, MARSYA ARIZKA!!!”

Aku dan Marsya terkejut. Lho? Kok Marsya? Bukankah selama ini…

“Marsya! Aku suka kamu! SUKI DA!! Maukah kamu pacaran sama aku?” aku yang mendengarnya sangat tidak tahan. Aku pergi dan aku berlari. Berlari entah kemana yang penting hatiku tak terasa perih.

“Tika!!”

Aku menangis terisak di bawah pohon cemara yang ada di taman belakang sekolah. Aku memanjat dinding sekolah untuk sampai disini. Disini adalah tempat yang selalu kugunakan untuk menangis. Yah, bisa dibilang tempat ini adalah saksi bisu kesedihanku.

Aku sering bertanya kepada diriku sendiri. Apakah aku salah untuk lahir? Aku adalah gadis yang beruntung telah dilahirkan oleh seorang Mama yang tak pernah menganggap aku sebagai anaknya karena papa yang tak mau menikahi mama.

Aku ikhlas mama tak pernah menyayangiku. Tapi salahkah aku jika ingin disukai dan disayangi laki-laki yang kusukai? Entahlah. Terkadang aku pun setuju dengan ucapan Mama. Aku tak pantas lahir.

Butiran-butiran airmataku tak dapat kutahan. Sedari tadi mereka telah membasahi seragam SMAku. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku merasakan kehangatan yang menenangkan hatiku. Aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya. Menatap seorang laki-laki yang entah darimana datangnya namun aku merasa nyaman dengannya.

“Jangan menangis. Aku akan selalu di sampingmu, Tika”

Aku terkejut dengan kata-katanya. Aku tersenyum mendengar ucapannya yang lembut itu. Rasanya tentram sekali. Tiba-tiba dia menyandarkan kepalaku di bahunya. Jantungku berdegub kencang. Perasaan apa ini?

Aku merasa sangat tenang di sampingnya. Aku mulai memberanikan diri memeluk lengannya. Dan tanpa sadar aku menceritakan semua yang ada di benakku mulai dari aku yang tak dianggap anak oleh mama hingga Nathan yang awalnya kukira secret admirerku.

“Terkadang, apa yang kita harapkan itu tak selalu menjadi kenyataan. Bahkan aku…” ucapnya. Tiba-tiba aku mengantuk dan akhirnya aku tenggelam dalam mimpiku.

Aku mencoba membuka mataku. Buram, itulah yang kulihat. Aku mencium bau obat di sekelilingku. Apa ini di Rumah sakit?

“Ngh” aku mencoba membangunkan tubuhku yang terasa sangat berat.

“Tika, kiamu istirahat saja, jangan bangun dulu”. Aku mencoba menerka siapa orang yang berbicara padaku. Perlahan penglihatanku kembali normal dan kudapati seorang Marsya yang tengah berdiri di sampingku.

“Ini dimana Sya?” aku memegang kepalaku yang pusing.

“Sudah, kamu tidur saja dulu. Aku akan panggilkan dokter” aku pun menuruti ucapan Marsya. Aku mulai merebahkan tubuhku kembali.

Tak lama kemudian dokter datang dan memeriksaku sebagaimana selayaknya seorang dokter memeriksa pasiennya setelah itu pergi dengan sopan.

“Aku kenapa Sya?”

“Tik, kamu sudah sebulan koma sejak kejadian Nathan nembak aku” ucap Marsya dengan nada amat bersalah. “Maaf, Tik. A… aku..”

“Aku tau Sya, aku tau kamu sebenarnya juga suka sama Nathan. Kamu cocok kok sama dia. Aku bakal ngalah buat kamu” tiba-tiba Marsya memelukku. “Maaf ya Tik”. Aku pun hanya tersenyum dan memeluknya.

“Tika! Kamu sudah sadar, Nak?” Tanya seseorang yang tak asing lagi bagiku. Marsya melepas pelukannya dan membiarkan aku menatap seorang wanita paruh baya yang sedang menangis di depanku.

“Mama…” sekejap mama langsung memelukku. Betapa senangnya hatiku. Inilah yang selama ini aku tunggu. Pelukan dari seorang mama yang aku cintai.

“Maafkan mama sayang… mama adalah mama yang bodoh… maaf sayang” ucap mama. Aku merasakan basah di pundakku. Mama menangis untukku. Aku pun membalas pelukan mama yang selama ini kutunggu dengan cintaku yang tulus. “Tika sayang mama” lirihku.

Tak terasa 3 bulan berlalu. Kini aku kembali bersekolah lagi. Tapi ada yang beda. Bukan hanya ‘ada yang berbeda’ tapi banyak yang berbeda. Dari sikap Mama yang selalu membuatku bahagia hingga Marsya yang kini juga sudah pacaran sama Nathan. Sedangkan aku? Aku masih menunggu lelaki itu. Lelaki yang membuatku tenang.

“Semuanya, hari ini kita akan mendapatkan teman baru. Silahkan masuk!” seru pak budi mempersilahkan seseorang yang akan menjadi teman baruku itu.

Dia mulai memasuki ruang kelasku. Betapa aku terkejut ketika mendapati siapa orang itu.

“Perkenalkan, namaku Arya. Salam kenal” ucapnya memperkenalkan diri. Kemudian pak budi mempersilahkan Arya untuk duduk di sebelahku karena kebetulan Marsya sedang tak ada.

Aku tersenyum menyambut Arya. Begitu pula dengannya. Dia juga tersenyum kepadaku. Senyuman yang hangat dan menenangkan. Aku kembali fokus dengan pelajaran Fisika dari pak budi.

“Apa Kamu suka dengan hadiah-hadiahku dulu, Tika?”

Aku terkejut dengan ucapannya. Aku pun menatapnya dengan tampang heran.

“Watashi wa anata o aishite, Tika”.


Cerpen Karangan: Lailil Mukaromah

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar